Oleh Ahmidatur Rahmawati
Aku tak pandai
mengarang cerita dan tak pintar membuat sebait puisi melakonis. Usiaku baru 18
tahun, orang terdekatku biasa menyebutku dengan panggilan “Ai” yang artinya cinta,
ya itu berasal dari kata Jepang. Menurut mereka, karakter aku seperti cinta yang
selalu tersenyum bahagia walaupun kita tahu bahwa hidup tidak selamanya
bahagia, ah sudah lupakan ! Hidupku sangat sederhana, aku cukup bahagia tinggal
bersama seorang ibu dan dua adik perempuanku. Ayahku adalah seorang pekerja
keras yang jarang sekali pulang kerumah, bahkan beliau sering lupa kalau beliau
punya keluarga dan rumah, hehehe bercanda.
Aku berjanji
kepada ibu dan ayah setelah lulus SMA nanti aku akan memberinya hadiah yang
selama ini beliau impikan. Setiap pagi, siang, sore, dan malam aku selalu
berusaha belajar giat dan metengadahkan tanganku kepada Allah SWT agar aku
lolos ujian di perguruan tinggi yang ibu harapkan yaitu “Jakarta Swiss of
University”.
Menjelang hari
ujianku, ibu menyiapkan sarapan pagi kesukaanku. Sebelum kulagkahkan kaki
keluar rumah, aku meminta doa restu kepada ibu agar Allah SWT memberi kemudahan
untukku.
Sebulan setelah
ujian, aku menerima kiriman amplop dari pak pos. Hatiku sangat deg-degan untuk
membuka, karna di sampul depan tertulis dari Jakarta Swiss of University. Aku
membawanya masuk dan memberitahu ibu yang sedang sibuk merapikan meja makan.
Bismillah, perlahan-lahan aku membuka amplop itu dan perlahan-lahan aku
mengeluarkan isi amplop itu. Ternyata Allah SWT tidak menghendaki aku kuliah
dikampus itu.
Perjalanan
hidupku masih panjang, masih ada cara lain untuk membahagiakan ibu. Akhirnya
aku putuskan untuk mencari informasi beasiswa diinternet. Melalui akun twitter
@ScholarshipsIndo akhirnya aku lolos beasiswa kuliah di negeri tetangga
yaitu Bandung.
Kini aku duduk di bangku kuliah semester enam
dan menekuni bidang kuliahku. Aktivitasku di kampus penuh dengan kegiatan
organisasi serta menjadi relawan kegiatan sosial. at hati sanubari yang ingin
meraih kesuksesan melalui pengalaman-pengalaman hidup di negeri rantauan.
Sukses dimasa muda bukanlah sesuatu yang mustahil. Semua memerlukan waktu dan
perjuangan yang luar biasa dan melakukan suatu kegiatan di luar kebiasaan
kebanyakan orang. Bukan sekadar aktivitas biasa tetapi untuk menebus sebuah
mimpi.
Ingin rasanya aku memiliki satu hari yang
khusus dihadiahkan untukku. Hari dimana agar aku bisa beristirahat, sejenak
menikmati hari libur. Sedikit menghirup udara segar dan terbebas dari rutinitas
dalam kampus serta segelintir aktivitas luar kampus. Rumahku yang jauh dan
jadwalku yang begitu padat membuatku jarang liburan pulang ke rumah. Libur Idul
Fitri dan Idul Adha adalah jadwal rutinku untuk menemui kedua orang tuaku. Hal
inilah yang membuat aku selalu rindu dengan kedua orang tuaku, terutama ibuku.
Ibuku seorang menejer yang luar biasa. Mampu
mengurusi semua urusan dalam negeri rumah tangga. Menjadi sosok guru yang
terbaik, satu-satunya menteri pendidikan yang kukenal yang mengajarkan
nama-nama benda di sekitarku. Mengenalkan agama pada semua anggota masyarakat
dalam keluarga. Menjadi menteri pertahanan yang selalu setia mewujudkan visi
misi kehidupan yang sakinah, mawadah, warahmah.
Sosok itulah yang membuat hidupku tetap
semangat menjalani hari-hari yang telah Allah SWT susun secara sistematis. Hari
ini harus lebih baik agar hidupku terus berjalan dan maju ke depan. Walau
terkadang rasa capek dan bosan menghinggapiku, menghipnotis semua semangat yang
ada. Tapi, aku selalu mencoba menepisnya. Aku tak ingin perjuangan dan kerja
keras mereka di desa sia-sia hanya karena sikap malasku. Demi menebus impianku,
aku ingin kuliah dengan benar, dan sungguh-sungguh. Aku tak ingin mengecewakan
mereka. Pada tiap tetes keringatnya ada kesungguhan dan keikhlasan untukku,
memenuhi semua titah Allah SWT yang
diamanahkannya.
Semester ini memang semester yang melelahkan,
tiap harinya hampir melumpuhkan seluruh sel-sel otot tubuhku karena kegiatan
praktikum dan presentasi yang disambut dengan kegiatan mengajar disisa
waktunya. Maklum sudah hampir lulus makannya aku tidak ingin selalu menggantungkan
semua biaya hidupku pada orang tua. Aku lantas beranjak dari tempat tidur dan
bergegas menuju kamar mandi. Dengan menarik napas dalam-dalam aku berkata. “Aku
harus semangat..! Kamu tidak boleh malas, Ai.” Kataku sendiri mencoba untuk
menyemangati. Ingat..! kamu harus segera merampas mimpimu itu dari jiwa
malasmu.
Setiap pukul 2.00 dini hari aku buka jurnal
praktikum yang bertumpuk dengan buku-buku yang lain. Aku mencoba melihat
pekerjaanku kemarin. “Huft… apanya yang salah, ya?!” Tanyaku yang bingung
sekali. Beginilah pekerjaanku setelah kegiatan praktikum. Mengerjakan
pembahasan hasil praktikum yang sering tidak sesuai dengan teori. Karena aku
mengambil prodi pendidikan kimia, mau tidak mau aku harus bergelut dengan
angka-angka dan logika-logika yang aku sendiri tak tahu bagaimana
menjelaskannya. Entah apa makna dari data-data itu sebenarnya.
Aku terkadang berpikir, bagaimana jika
pekerjaan di labolatorium yang aku kerjakan ini benar-benar harus dijelaskan
kepada siswaku. Niscaya aku akan bingung bukan kepalang. Menghitung
perhitungannya saja aku terkadang kebingungan. Belum lagi reaksi-reaksi kimia
yang kompleks dengan perhitungan yang rumit. Apalagi fasilitas lab yang kurang
memadai. Pasti aku akan kebingungan. Hal tersebut merupakan tantangan
tersendiri yang harus aku hadapi.
Meskipun begitu, dulu kimia adalah mata
pelajaran yang aku sukai ketika aku masih di SMA. Pernah menjadi juara
olimpiade tingkat propinsi dan tingkat nasional, itulah motivasiku. Oleh karena
itu, aku ingin melanjutkan pengetahuanku mengenai kimia di jenjang perguruan
tinggi ini. Aku merasakan kesenangan tersendiri dengan kumpulan angka-angka
teoritis yang menarik itu. Perhitungannya jelas. Rumus-rumusnya juga jelas.
Mudah sekali mempelajari kimia. Saat kita mengerjakan, anggap saja kita seorang
ilmuwan. Dan saat mengerjakannya, anggap pula kita sedang mengerjakan laporan
penelitian kita sendiri. Dengan begitu, belajar akan lebih menyenangkan. Jika
kamu mendapati ketidaksesuaian pada hasil percobaan, lebih baik lanjutkan pekerjaannya
esok hari untuk mencari penyebabnya. Sungguh, aku akan malas untuk melanjutkan
pekerjaanku jika hasilnya tidak sesuai dengan teori. Bukan bermaksud
menunda-nunda. Tapi aku ingin mengistirahatkan pikiran. Berharap, esok
pikiranku akan segar kembali. Dan bisa meneliti pekerjaaanku. Salah satu
kelemahanku adalah, kurangnya ketelitian dan kecermatan dalam melakukan
praktikum. Meskipun aku memahami materinya, kecermatan, ketelitian, dan langkah
kerja sangat penting dalam mengerjakan sebuah praktikum sederhana.
Mataku pun sudah mulai membengkak karena
kelelahan aku ajak begadang. “Lebih baik, aku selesaikan setelah subuh saja.”
Kataku sambil menutup buku. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur
lantai.
“Ai,
persen kesalahannya berapa?” Tanya Robby. “Aku belum selesai, Rob.” Jawabku
setelah menyedot jus jambu yang ada dalam gelas plastik. “Ngapain sih,
rame-rame?” Tanya Yudi. “Yud, persen kesalahan praktikum biokimia berapa?”
Tanya Robby. Ia adalah teman sekamarku yang ingin tahu hasil praktikum kemarin.
Aku salut dengan semangatnya. Ia selalu bertanya padaku, jika ia selesai
mengerjakannya. Berusaha untuk mencocokkan, dan jika jawabannya berbeda secara
teori dan salah. Kita akan segera membenahinya dan membahasnya bersama.
Pernah suatu kali, aku dan Yudi satu kelompok
pada praktikum kimia fisika. Aku datang pagi-pagi ke kosnya untuk mencocokkan
pekerjaannya yang salah. Sekarang ia tampak kebingungan sekali. Yang ngerti
kimia fisika saja belum selesai mengerjakannya. Aku bisa melihar raut wajah
kepanikan dari sikapnya. “Jangankan mengerjakannya dulu, soalnya ada tahapan
perhitungan yang salah, masa persentase kesalahannya samapai 200%!” Jawab Yudi
dengan santai dan terlihat tanpa beban. Tapi, dia adalah teman yang selalu
memberiku semangat. Teman seangkatan yang selalu membuatku tersenyum. Mengobati
kerinduanku terhadap ibu dan bapak.
Aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Tugasku
memberi les dan kegiatan di organisasi cukup membuatku kualahan. Antara
tanggungjawab dan kerinduan teramat dalam pada kampung halaman. ‘Aku ingin
pulang, ibu.., ayah..,’ Teriakku tertahan. Aku raba catatan-catatan mimpiku
yang tertempel di dinding. 100 mimpi yang dulu dibuat harus secepatnya ku
jemput.
Malam itu, terkenanglah cita-cita semasa SMP
dulu. Saat itu terlintas dalam pikiranku ingin menjadi seorang guru. Bukan
tanpa alasan, saat itu guru biologiku sangat mahir menjelaskan pelajarannya.
Tidak hanya itu, dia juga mengajar bahasa inggris dan bahasa sunda yang membuat
ku terpesona. Aku ingin sekali menjadi guru karena guru ilmunya tidak pernah
habis walau setiap hari diberikan pada orang lain.
Saat ini langit begitu cerah bertabur
bintang-bintang nan menawan. Seperti kehidupanku saat ini, banyak teman
disekelilingku. Namun aku rindu hadirnya rembulan, dialah ibuku yang paling
berharga dalam hidupku. Membuat hidupku jauh lebih lengkap.
Angin malam di Bandung ini menerpa kulitku,
terasa dingin hingga menusuk tulang. Aku merasakan kerinduan timangan kasur nan
empuk di kamarku. Membawaku masuk dalam kamar. Perlahan-lahan, diriku dibawa
terbang ke awan. Menyusuri pulau nan indah saat bersama ibu. Kami sekeluarga
terlihat gembira dan begitu menikmati. Aku melihat senyum yang begitu natural,
senyum yang terpancar dari hati. Sesuatu yang ibu ekspresikan dengan tulus. Aku
begitu senang melihat ibu bahagia. “Buatlah ibu bangga, Ai. Jangan biarkan
orang lain merendahkan dan meremehkan kita. Ibu yakin kamu pasti bisa membuat
ibu tetawa dan bahagia lebih dari hari ini.” Kata ibu mengelus punggungku.
Tangannya begitu hangat.
Hari-hari begitu cepat berlalu. Begitu mudah
siang berganti malam dan malam berganti siang. Namun tak semudah kewajibanku
sebagai mahasiswa yang mengemban amanah berat dari orang tua agar cepat lulus.
Itulah beban terberat, lebih berat dari mengangkat badanku sendiri.
Masa praktik mengajar di sekolah berupa
matakuliah pendidikan latihan profesi telah selesai. Skripsi yang aku kerjakan
belum juga beranjak dari proposal awal yang dulu diajukan. Pasalnya, instrumen
penelitian yang diperlukan belum juga terselesaikan. Hal inilah yang menjadi
tembok raksasa yang sulit ditaklukan, lebih kokoh dari pada tembok China.
Disisi lain, kontrak kamar kos akan habis akhir bulan Agustus. Rasanya tidak
mungkin untuk meminta uang lagi untuk mengontrak satu tahun lagi gara-gara
tidak lulus tepat waktu. “Uang dari mana?” pikirku. Apa alasanku nanti.
Agustus ini aku bertekad untuk menjadikannya
bulan Ramadhan ini Ramadhan terakhir masa kuliahku. Konon bulan puasa adalah
bulan yang penuh berkah, dimana semua doa yang kita panjatkan dengan kesungguhan
akan cepat terkabul. Disaat-saat itulah semua beban problematika hidup aku
curhatkan pada Allah SWT. Semoga curhat ini mendapatkan jawaban, harapku begitu
menggebu. Tak ada jalan lain, hanya kepada-Nyalah aku kembali.
Bulan Agustus belum berakhir, tapi jawaban Allah
SWT sudah terlihat begitu jelas. Ada beberapa dieal-dieal yang kami buat dengan
beberapa teman kerja di lembaga bimbel. Salah satu alternatifnya adalah aku
diperbolehkan tinggal di tempat bimbel jika masa kontrak kos habis. Tawaran tersebut
merupakan lampu hijau untuk terus melaju menggapai impian yang hampir pupus.
Masa kontrakan habis telah tiba, akan tetapi
seluruh barang milikku telah dipindahkan ke tempat bimbel. Berada di tempat
bimbel sudah lebih nyaman ketimbang numpang di tempat kos teman. Beberapa
minggu berlalu di tempat bimbel, namun kondisi keuangan semakin boros. Itu
terjadi karena jarak dari tempat bimbel ke kampus yang sangat jauh. Harus naik
dua kali angkot untuk mencapai tempat baruku itu.
Tempat baru ini seakan memberikan energi yang
mahadahsyat, akhir awal September aku melakukan penelitian di tiga sekolah
negeri di kota Bandung. Seolah tak peduli dengan kapasitas kekuatan tubuhku,
aku mengerjakannya seolah tanpa kehabisan energi. Maklum target kelulusan di
bulan Desember harus tercapai. Untuk bisa wisuda bulan Desember, sidang skripsi
paling telat adalah bulan Oktober. “Masih ada beberapa mingggu”, gumamku dalam
hati. Aku pasti bisa lulus sesuai target.
Ketika energi aktivasi dalam jiwa ini telah
mencapai puncaknya, minggu demi minggu, hari demi hari, jam, menit dan detiknya
aku manfaatkan secara cantik. Disela-sela rapat pun aku bisa membuat beberapa
lembar pembahasan hasil penelitian. Entah malaikat apa yang membantu,
seolah-olah pikiran ini menerobos gelapnya lorong-lorong ide.
Selama dua minggu terakhir sebelum sidang,
rasanya tidurku tidak pernah nyenyak. Kegelisahan selalu datang seolah menyapa
seberapa besar keseriusanku untuk bisa lulus tepat waktu. Hanya doa yang aku
pinta saat itu, semua keluarga di rumah mendoakanku. Linangan air mata
menghiasi pipi ini, seolah dia hadir untuk mengingatkan semua kecerdasan
milikmu itu sebenarnya bukan milikmu. Dikala galau dan jauh dari rahmat-Nya
seolah ide dan gagasan pergi meninggalkanku satu per satu. Terasa aliran darah
ke otak ini berhenti mengalir, pusing bukan kepang. Hanya sujud dan rukulah
yang menjadi pengobat stress.
Draf skripsi yang dibalut warna merah tua telah
tersusun di kantor jurusan. Diantara tumpukan tersebut ada drafku yang masuk
paling terakhir. Hampir-hampir kantor jurusan tutup karena terlambat ke kampus.
Seminggu kemudian tibalah saatnya ujian sidang,
pada Kamis tanggal 27 Oktober 2014 pukul 08.00 WIB aku ujian sidang. Dihadapan
penguji aku merasa orang yang paling banyak kelemahannya, walaupun bisa disembunyikan
pasti penguji akan mengorek dalam-dalam untuk mengungkap materi matakuliah yang
belum aku kuasai atau sekadar nguji mental. Alangkah soknya satu pertanyaan
dari dosen penguji tidak bisa aku jawab dengan baik. Rasa percaya diri
berangsur mulai memudar. Sesaat kemudian dosen penguji kedua bertanya tentang
proses pengambilan data dan pengolahannya. “Inilah pertanyaan yang aku
tunggu-tunggu” bisik dalam hati. “Akan aku jawab dengan panjang lebar agar
waktunya habis, sehingga penguji ketiga tidak sempat bertanya” setrategi itu
muncul secara otomatis. Benar saja, penguji ketiga hanya menyampaikan apa yang
akan ia Tanya padaku tanpa harus aku jawab karena waktunya telah habis.
Pada hari yang sama, pukul 14.00 di ruang rapat
dosen, ketua jurusan pendidikan kimia, Dr. Ahmad Mudzakir, M.Si menyampaikan
hasil ujian sidang pada bulan Oktober. Alangkah kagetnya ketika ketua jurusan
mengatakan nilai IPK aku adalah 3,42. Hal yang tak terduga karena nilaiku naik
dari sebelumnya.
Beban agar lulus tepat waktu telah lunas. Namun
mimpiku belum tertebus. Dua minggu berlalu setelah ujian sidang, beberapa
tawaran pun muncul. Jiwa petualangku muncul sehingga ada satu tawaran untuk
menjadi guru akau terima. Alasannya, aku dapat menggali potensi, mengembangkan
life-skill, meningkatkan kedewasaan, mengubah pola pikir, meningkatkan
kemandirian, menambah wawasan dan pengalaman hidup yang akan memberi banyak
warna yang indah dalam setiap derap langkah hidup aku
Setelah lulus dari jurusan pendidikan kimia
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tanggal 21 Desember 2014, aku
memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku di Serang, Banten. Setelah
lolos seleksi program SM-3T (Sarjanan Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan
Tertinggal), aku menjadi guru dan mendapat tugas mengajar di SMA Negeri 1
Amarasi Timur.
SMA Negeri 1 Amarasi Timur terletak di sebuah
kecamatan terpencil, Amarasi Timur, yang masuk dalam wilayah Kabupaten
Kupang-NTT. Jarak untuk mencapai Amarasi Timur dari Kota Kupang adalah 67 km,
medan yang harus dilalui pun terbilang berat. Jalan berliku naik-turun bukit
dan melewati beberapa sungai sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat
Amarasi Timur. Amarasi Timur dipilih karena pertimbangan keterbatasan akses
informasi, komunikasi, penerangan, dan transportasi.
Kini telah ku tebus cita-cita itu, namun aku
harus rela tinggal jauh dengan orang-orang yang aku cintai. Inilah kasih akung
yang terungkap melalui cara yang berbeda. Jauh dimata, dekat dihati, mungkin
itu kata-kata yang cokok. Untuk membayar semua mimpi itu dibutuhkan energi dan
biaya kerinduan yang luar biasa dahsyat. Semoga hari-hari di sini bisa dilalui
dengan semangat dan gembira. Semoga keluarga yang nun jauh di sana diberikan
kesehatan dan umur yang panjang. Aku akan segera kembali.
0 komentar:
Post a Comment