SIAPAKAH KAU DAN AKU DIANTARA KITA

Posted by



Saat senja perlahan menyerah pada kuasa malam, tiba-tiba aku tersungkur dalam heningnya. Kemudian lintasan pikirku tiba-tiba memaparkan begini :
Jika kau adalah kekasih atau suamiku. Lantas, siapakah sebenarnya dirimu? Saat kau melewatkan panggilanku yang masuk ke ponselmu berkali-kali, lalu aku memarahimu. Padahal bisa saja saat itu kau sedang sibuk, atau sedang berada di jalan, atau ponselmu kau simpan di sakumu sehingga panggilanku yang berkali-kali itu tidak terdengar olehmu. Bisa jadi juga bahwa saat itu kau mungkin sedang meeting. Dan masih banyak lagi kemungkinan lainnya yang membuatmu sungguh-sungguh tidak bisa melakukan apa yang aku harapkan, meski hal itu sangatlah sepele : mengangkat ponselmu untukku.
Saat kau tak menjawab pesan-pesanku, bahkan saat kau sedang ‘on line’ denganku. Lantas, apakah aku harus marah padamu? Bisa saja saat itu kau sedang sibuk hilir mudik sehingga kau benar-benar tak bisa menjawab pesan-pesanku, sekali pun jawabanmu saat itu hanya ada dua kata pilihan : ya atau tidak.
Saat aku tahu dan melihat dengan mata kepalaku sendiri kau dengan ringan tangan menolong wanita cantik berbaju biru kelabu itu saat terjatuh dan kakinya keseleo karena dia menggunakan sepatu hak tinggi. Kau dengan gesit membantunya bangkit dan kemudian membimbingnya, mencarikan taxi untuk mengantarkannya pulang. Lalu di sepanjang perjalanan pulang, hingga esoknya aku cemberut. Menampilkan wajah yang super kecut. Ternyata aku tak rela kamu membantu wanita itu.
Entah berapa energi yang dibutuhkan untuk menampilkan wajah yang pastinya tiada bisa dikatakan indah; saat marah, saat cemberut ( mungkin juga kayak drubikso :D ).
Dan, jika sudah begini kau akan tampil dengan beragam kesabaranmu, memberi pengertian dengan analogi-analogi yang anggap cukup untuk bisa kumengerti.
Siapakah dirimu, Sayang? Siapakah sebenarnya dirimu? Saat aku tega memarahi, bahkan menghakimi dirimu. Memangnya, aku ini siapa? Siapakah aku ini sebenarnya? Kau untukku dan aku untukmu. Namun siapakah kita di antara kau dan aku? Oke, aku tahu kau mencintaiku. Kau menyayangiku. Sangat-sangat-sangat menyayangiku melebihi apa pun yang kutahu. Tapi mengapa aku tega melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu aku lakukan? Apakah untuk setiap orang yang mencinta akan mengalami hal serupa, yakni selalu ‘kalah’ dalam hidup kesehariannya bersama orang yang dicintainya? Apakah mentang-mentang aku dicintai habis-habisan, lantas kemudian aku berhak sebebas-bebasnya sekehendak hatiku dalam memperlakukanmu? Apakah mentang-mentang kau mencintaiku lantas aku bisa sewenang-wenang padamu?
Apakah karena kau milikku, lalu dengan penuh kebanggaan, aku menyepelekanmu begitu saja dengan perlakuan yang sesungguhnya sangat merugikan diriku sendiri? Seorang ‘menak’ tak akan pernah berbuat semena-mena. Ia tahu untuk mengangkat martabatnya, ia malah bersikap segalanya dengan penuh kelembutan. Lah, apalagi aku! Aku yang terlahir menjadi manusia biasa saja; awam-seawam-awamnya, malah berlaku demikian? Memang, aku siapa? Aku dan kamu bukan sesiapa! Kau tetaplah orang lain bagiku, dan aku pun orang lain bagimu! Selain karena cinta yang telah berhasil menjembatani kita berdua menjadi dua insan yang -seharusnya- bisa terus dan tetap berbagi dengan kesantunan kasih sayang sejati. Bukan pada tempatnya jika aku demikian membiarkan diriku untuk terus bersikap tidak adil kepadamu hanya karena kau mencintaiku.
Sebentar… Tunggu!!!
Aku tadi berkata bahwa kau milikku.
Kau milikku?
No! Kau bukan milikku. Kau adalah seorang utusan Tuhan yang ditugaskanNya untuk menemaniku menjadi sahabatku di seluas hidup. Berjalan beriringan dalam menghadapi kehidupan yang keras ini selamanya; sebelum atau setelah sebuah suasana sakral itu mengantarkan kita.
Oh, maafkan aku, wahai semestaku… Maafkan segala khilafku. Tidak seharusnya aku berbuat sewenang-wenang padamu. Kau mencintaiku, dan aku sadari itu dengan sepenuh jiwaku. Seharusnya aku balik mencintaimu melebihi yang kau berikan padaku. Maafkan aku, Sayang… Aku akan memperbaiki diri demi sebuah kata CINTA yang kau titipkan kepadaku. Ya, aku menyebutnya kau menitipkan cintamu, karena aku haruslah, bukan harus, melainkan semestinya aku ini dapat mengembalikan cintaku kepadamu. Ya Tuhan… Maafkan aku… Maafkan keluh kesah ini. Aku akan mencintai dengan tulus, tanpa menuntut. Akan kubiarkan cintaku menemui takdirnya sendiri. Sederhana tanpa tendensi apa pun. Tulus tanpa beban harapan. Aku akan mencintai hingga aku merasakan kekosongan dan kehampaan. Meninggalkan kedaginganku, yang dinamakan keegoisanku. Sepertimu kasih, yang dengan rela membiarkanku apa adanya dalam pelukmu. Hangat, nyaman, syahdu, penuh air mata haru; air mata penuh kesejukan.
Sebab, kaulah energi cintaku. Suluh bagi sisi gelapku. Rindu bagi segenap nafasku, dan senyum bagi setiap lukaku :)
Semoga kelah Dia mempertemukan jiwa terkasih sehingga kau dan aku menyatu dalam kerinduan sehingga kau dan aku akan menjadi satu wujud nyata, bukan sekedar hayalan belaka. Siapapun kamu disini aku menantimu dalam segenap jiwa dan ragaku. Disini aku menanti, semoga disana engkau, mencari sehingga pertemuan kita disegerakanNya dalam kesuksesan yang akan kita raih bersama.



Blog, Updated at: 10:09

0 komentar:

Post a Comment

Followers

Follow Twitter Kami

Powered by Blogger.